Menurut
Profesor Amartya Kumar Sen, tujuan pembangunan adalah memperluas kebebasan rill
yang dapat dinikmati oleh rakyat, yang di dalamnya terdapat dukungan oleh
bebrbagai kebebasan tertentu demi memajukan kebebasan-kebebasan yang lainnya.
Kaitan antara berbaai kebebasan ini bersifat empiris dan kausal, tidak berdiri
sendiri atau selalu menjadi bagian. Namun, pandangan ini berlawanan dengan
pandangan konvesional, yang melihat pembangunan melulu sebagai pertumbuhan
produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pribadi, industrialisasi dan
kemajuan tekhnologi , atau modernisasi sosial.
Tiadanya kebebasan substantif
disebabkan oleh beberapa alasan, yang diantaranya :
a. Kemiskinan
absolut yang berwujud bencana kelaparan.
b. Pandangan
tradisional yang menyimpulkan bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya
persediaan pangan (pandangan FAO). Menurut Prof Sen, perhatian juga harus
dipusatkan juga pada entittlement (hak)
yang dimiliki setiap orang, yaitu komoditas yang dapat digunakan untuk
membangun kepemilikan dan kekuasaan.
c. Tiadanya
fasilitas umum dan sosial serta antiperempuan yang dianut oleh beberapa
masyarakat miskin atau tradisional.
d. Hilangnya
hak politik dan sipil karena tindakan pemerintah otoriter. Di negara berkembang
penolakan terhadap sistem demokrasi seringkali didasarkan oleh argumen berikut
:
1. Klaim
bahwa kebebasan dan hak politik menghambat pembangunan ekonomi (Lee Thesis).
Namun bukti empiris yang dihimpun oleh Prof. Sen menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi di negara berkembang pertama-tama disebabkan oleh iklim ekonomi yang
menguntungkan daripada sistem politik yang keras.
2. Klaim
bahwa jika ditawarkan kepada orang miskin antara kebebasan politik atau
pememuhan kebutuhan ekonomi, maka mereka akan memilih pilihan yang kedua. Klaim
ini juga didasarkan oleh bukti yang minim. Satu-satunya untuk menguji
kebenarannya adalah dengan menyerahkan kepada ujian demokratis dalam ujian
umum. Namun kebijakan ini ditolak oleh pendukung otoriterisme.
3. Klaim
bahwa kebebasan politik dan demokrasi adalah “konsep Barat” yang tidak sesuai
dengan “nilai-nilai Asia”. Padahal Asia Tenggara, Selatan, maupun Timur
memiliki budaya, etnis, dan bahasa yang sangat beraneka ragam, sehingga usaha
menyamaratakan “nilai-nilai Asia” cenderung keliru.
Hubungan
antara demokrasi dan tiadanya bencana kelaparan mudah dicari. Bencana kelaparan
membunuh berjuta-juta orang di negara nondemokratis, namun tidak membunuh para
penguasanya karena mereka tidak memikul konsekuensi atas kegagalan mencegah
terjadinya bencana kelaparan. Sebaliknya, di negara-negara demokrasi, bencana
kelaparan dapat menimpa kelompok berkuasa dan pemimpin politik. Ancaman ini
telah memberi mereka dorongan politik untuk mencegah bencana kelaparan.
Menurut
Prof Sen, pembangunan harus dipandang sebagai usaha untuk memperluas kebebasan
substantif atau “kemampuan manusia” yang dimiliki oleh orang banyak. Tidak sama
dengan “modal manusia” yang hanya memfokuskan upaya manusia dalam meningkatkan
kemungkinan produksinya, “kemampuan manusia” memfokuskan perhatian kepada
kebebasan substantif semua orang untuk menempuh kehidupan yang menjadi idaman
dan meningkatkan pilihan-pilihan rill yang ada.
Relevansi Pandangan Profesor Sen
bagi Indonesia
Pada
tahun1997/98 pandanga tentang nilai-nilai demokrasi dalam mengatasi krisis ekonomi
di Indonesia menjadi sangat relevan. Krisis ekonomi ini sulit untuk disembuhkan
karena beberapa sebab, yakni peranan protektif demokrasi tidak ada, korupsi
besar-besaran, dan represi terhadap segala lapisan politik, dan tiadanya
kebebasan instrumental (kebebasan politik, fasilitas .ekonomi, peluang sosial,
jaminan transparansi dan jaminan perlindungan) kepada masyarakat. Presiden
Soeharto pun bersikap ambivalen terhadap beberapa persetujuan dengan IMF dan
lebih mementingkan ekonomi anak-anaknya serta mengacuhkan ekonom yang peduli atau
mereka yang mencoba memberi nasihat. Prof Sen berujar dalam pidatonya mengenai
krisis di Asia bahwa peranan protektif demokrasi sama sekali tidak ada justru
ketika sangat dibutuhkan.
Menurut
Prof. Dr. Maying Oey-Gardiner, seorang Ilmuwan sosial Indonesia terkemuka,
pendidikan dalam tiga dasawarsa terakhir maju pesat, namun jurang pendidikan
antara wilayah perkotaan dan pedesaan tetap menganga dan semakin meningginya jenjang
pendidikan yang dimiliki, akan semakin lebar lagi, implikasinya adalah dalam
hal keadilan. Dan seharusnya dalam diskusi mengenai “aset merata” tidak melulu
terpusat pada redistribusi aset fisik atau aset moneter melainkan juga krusial
redistribusi aset nonfisik yang unsur terpentingnya adalah keterampilan
manusia, yang memperluas lembaga pendidikan yang baik, meningkatkan beasiswa
bagi anak yang kurang mampu sehingga dapat mencapai kehidupan yang
diidam-idamkan.